Saat bertemu Bung Karno di akhir tahun 1966 itu, dokter Soeharto menyarankan mantan Presiden pertama RI itu untuk dirawat di rumah sakit.
“Apakah tidak lebih baik dirawat di rumah sakit saja?” kata dokter Soeharto.
“Ik heb niets te willen, dat moeten de behandelendt doktoren maar uitmaken. Saya tidak boleh keinginan apa-apa, seharusnya dokter-dokter yang menangani yang memutuskan," ujarnya.
Bung Karno tetap berada di Wisma Yaso menjalani hari-harinya dengan menahan rasa sakit dan sepi. Kepada dokter Soeharto, Bung Karno sempat mengeluh dirinya merasa kesepian. Kepada Hartini, istri keempat, Bung Karno menyatakan kesedihannya yang mendalam sembari meneteskan air mata.
“Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku ingin agar aku ditembak saja,” kata Bung Karno kepada Hartini seperti dikutip “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66”.
Pada 16 Juni 1970, Bung Karno akhirnya dilarikan ke rumah sakit pusat angkatan darat karena kondisi kesehatannya semakin parah. Peter Kasenda dalam buku Hari-hari Terakhir Soekarno (2012) menyebut, Bung Karno ditempatkan dalam sepetak kamar dengan penjagaan berlapis di lorong rumah sakit. Kondisi kesehatan Bung Karno semakin memburuk.
Pada Sabtu, 20 Juni 1970 pukul 20.30 Wib, kesadaran Bung Karno menurun dan Minggu dini hari, sang Proklamator RI itu mengalami koma. Dokter Mahar Mardjono langsung menghubungi putra-putra Bung Karno, sekaligus meminta untuk segera datang.
Pada Minggu 21 Juni 1970, pukul 06.30 Wib terlihat Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarno Putra.
Mereka menunggu perkembangan kabar ayah mereka dengan wajah tegang. Tepat pukul 07.00 Wib, dokter Mahar Mardjono membuka pintu ruang perawatan, dan anak-anak Bung Karno langsung menyerbu masuk. Berondongan pertanyaan hanya dijawab dokter Mahar dengan gelengan kepala. Pukul tujuh lewat sedikit, perawat mulai melepas selang makanan dan alat bantu pernapasan Bung Karno.
Anak-anak Bung Karno mengucap takbir. Megawati membisikkan kalimat syahadat ke telinga Bung Karno dan Bung Karno mencoba mengikuti.
“Allah,” kata Bung Karno lirih seiring napasnya yang terakhir seperti dikutip dari buku “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Soekarno”.
Tangis sontak pecah. Tepat pukul 07.07 Wib, Bung Karno wafat. Sang Proklamator RI itu kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Berakhir sudah tugasnya sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait