Mengenal Raja Haji Ahmad Penyusun Gurindam Dua Belas, Peletak Bahasa Melayu Jadi Bahasa Indonesia

Sekar Rahmadiana Ihsan
Raja Haji Ahmad atau bernama lengkap Ali Haji bin Raja Haji Ahmad penyusun puisi Gurindam Dua Belas pada 1847.Foto: youtube

PEMATANG SIANTAR, iNewsSiantar.id - Raja Haji Ahmad atau bernama lengkap Ali Haji bin Raja Haji Ahmad penyusun puisi Gurindam Dua Belas pada 1847.

Jasa besar Raja Haji Ahmad lakukan untuk Nusantara ialah menjadi pencatat pertama, dasar-dasar tata bahasa Melayu

Dasar-dasar dan tata bahasa ini ia tuangkan dalam buku Pedoman Bahasa, yang akhirnya menjadi standar bahasa Melayu baku. 

Selain Gurindam Dua Belas, karya lainnya yang terkenal, yaitu “Tuhfat al-Nafis” (1860) sebagai sumber tak ternilai tentang sejarah Semenanjung Melayu, dan “Silsilah Melayu dan Bugis” (1865). 

Karya-karya lain yang ia terbitkan ialah Bustan al-Kathibin (1857), Intizam Waza’if al-Malik (1857), serta Thamarat al-Mahammah (1857). 

Dari bahasa Melayu baku ini akhirnya ditetapkan sebagai bahasa nasional yang dikenal sebagai bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 silam. 

Intinya, Raja Haji Ahmad  merupakan seorang ulama dan peletak dasar Bahasa Indonesia. Sekaligus sebagai pencatat pertama dasar dan tata bahasa Melayu. 

Pada 5 November 2004 lalu, melalui Keppres Nomor 89/TK/2004, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada Raja Haji Ahmad atas kontribusinya pada bahasa, sastra, budaya Melayu, dan sejarah Indonesia.

Raja Haji Ahmad lahir di Pulau Penyengat, Kesultanan Lingga (sekarang Kepulauan Riau) sekitar tahun 1808 atau 1809. 

Sementara tanggal wafatnya dari bukti-bukti yang dirangkum dari berbagai sumber, Raja Haji Ahmad dinyatakan wafat pada 1873 di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. 

Di batu nisannya, terukir karyanya yang berjudul “Tuhfat al Nafis”, yang berarti “Hadiah Berharga” untuk dibaca oleh orang-orang saat berkunjung ke makamnya.  

Ayahnya adalah Raja Ahmad, pemilik gelar Engku Haji Tua setelah ziarah ke Mekkah, dan ibunya, Encik Hamidah binti Malik adalah keturunan suku Bugis. 

Ia juga merupakan cucu Raja Ali Haji Fisabilillah, bangsawan Bugis dari Kesultanan Lingga-Riau. Semasa kecil, ia dididik oleh ayahnya dan menerima banyak pengetahuan dari lingkungan Istana Kesultanan Lingga-Riau. 

Pada masa itu, banyak ulama terkemuka yang menyambangi Kesultanan Lingga-Riau untuk keperluan mengajar, sehingga Raja Haji Ahmad mendapat banyak pengetahuan. 

Beberapa ulama tersebut ialah Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al Minkabawi, dan masih banyak lagi. Pada tahun 1822, Raja Haji Ahmad bersama ayahnya pergi ke Jakarta. 

Di sana, ia mendapatkan banyak kesempatan untuk belajar. Selain itu pada 1828, ia bersama ayahnya dan 11 kerabat Bugis lainnya pernah menjadi Bangsawan Bugis pertama yang pergi ke Mekkah untuk berhaji. 

Ketika memasuki usia 32 tahun pada tahun 1845, Raja Haji Ahmad beserta saudara sepupunya, Raja Ali bin Ja’far dipercaya untuk memimpin wilayah Lingga, mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah. 

Sepupunya diangkat menjadi Dipertuan Muda Riau VIII, sedangkan Raja Haji Ahmad sebagai penasihat keagamaan kesultanan. Pada masa-masa itu, ia mulai menerbitkan beberapa karya-karyanya. 


 

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network