JAKARTA, iNewsSiantar.id - Presiden terpilih 2024 Prabowo Subianto diminta tidak membuat kabinet gemoy. karena beban berat akibat warisan kebijakan perekonomian yang dilakukan Presiden ketujuh RI Joko Widodo.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti memaparkan posisi utang pemerintahan Presiden Jokowi pada masa awal transisi dari Presiden ke-enam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan membandingkannya dengan kondisi Prabowo saat akan menjadi Presiden kedelapan RI di akhir masa jabatan Jokowi.
Esther juga mengibaratkan warisan utang sebagai mobil. Dimana, dia menyebutkan besaran nilai utang pemerintahan SBY pada tahun 2014 mencapai Rp2.600 triliun. Sedangkan, pada saat Jokowi memerintah hingga 2024 utang yang tercatat menjadi sebesar Rp8.300 triliun, naik tiga kali lipat.
"Kalau kita lihat, pada saat Presiden Jokowi menerima warisan, mobilnya bagus, karena kondisinya waktu itu rasio utang terhadap PDB masih berkisar 20 persen. Sementara, Prabowo dapat warisan mobil bermasalah, karena sekarang kondisinya rasio utang PDB capai 40 persen," urai Esther dalam diskusi publik bertajuk "Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar" yang dilakukan Universitas Paramadina, Kamis (11/7/2024).
Dia mencatat tata kelola fiskal ketika Jokowi memerintah selama dua periode sejak tahun 2014 hingga 2024, terbilang tidak mampu mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapat menengah (middle income trap).
Oleh karena itu, Esther menyarankan Prabowo untuk tidak usah menambah jumlah kementerian demi mengakomodir sistem balas budi partai-partai yang mendukungnya di Pilpres 2024 kemarin.
"Sehingga efektivitas pemerintahan sangat krusial. Yang namanya government itu harus efektif. Ngapain bikin kabinet gemoy, karena akan makin besar belanja rutinnya. Kabinet yang ramping saja," tuturnya.
"Belanja pemerintah diharapkan bisa produktif dan long term. Karena kita ini kan mau keluar jadi negara maju. Tapi lebih dari 20 tahun ini kita masih terjebak di middle income trap," papar Esther.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta