get app
inews
Aa Text
Read Next : 5 Komisioner KPK 2024-2029 Segera Dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk Disahkan

Terungkap Keringat Manusia Bisa Jadi Obat Penyakit Lyme

Rabu, 27 Maret 2024 | 17:05 WIB
header img
Keringat manusia bisa menjadi obat dari penyakit Lyme, infeksi bakteri yang disebabkan oleh kutu. (Foto: Menshealth)

JAKARTA, iNewsSiantar.id - Keringat manusia bisa menjadi obat dari penyakit Lyme, infeksi bakteri yang disebabkan oleh kutu. Ini dimungkinkan oleh protein unik di keringat yang berhasil ditemukan para ilmuwan.

Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang baru saja diterbitkan di jurnal Nature Communications mengungkap bahwa

Sebelumnya, para ilmuwan menjelajahi kumpulan data besar informasi genetik manusia dan membandingkan gen orang-orang dengan dan tanpa penyakit Lyme. Mereka menemukan tiga gen yang terkait dengan risiko infeksi yang lebih tinggi, dua di antaranya diketahui terkait dengan penyakit tersebut.

Namun, gen ketiga, yang membuat sejenis protein ditemukan di kulit dan keringat tidak pernah terikat padanya. Gen mutan yang dibawa oleh penderita penyakit Lyme tampaknya meningkatkan kerentanan mereka terhadap penyakit tersebut, melansir Live Science, Rabu (27/3/2024).

Para peneliti kemudian menemukan bahwa versi standar dan non-varian dari gen itu sebenarnya dapat mencegah pertumbuhan bakteri penyebab penyakit Lyme, setidaknya pada percobaan terhadap tikus. Dan dikatakan sekitar 60% orang diperkirakan membawa versi standar gen tersebut.

Michal Tal, ilmuwan utama di Massachusetts Institute of Technology menyebut jenis penelitian ini, yang menyaring sejumlah besar genom manusia untuk mencari gen yang terkait dengan kondisi tertentu, belum pernah dilakukan untuk penyakit Lyme, 

Dalam penelitiannya Michal dan tim memulai dengan data dari proyek FinnGen, yang berisi informasi genetik lebih dari 410.000 orang Finlandia, termasuk lebih dari 7.000 orang yang didiagnosis menderita penyakit Lyme.

Penelitian mengungkap varian misterius gen yang membuat protein yang disebut secretoglobin family 1D member 2 (SCGB1D2), yang mana Sekretoglobin sendiri adalah protein kecil yang disekresikan oleh sel, dan dalam hal ini ditemukan di kelenjar keringat.

Para peneliti awalnya memposting penemuan ini secara online dalam makalah pracetak, dan tak lama kemudian, mereka mendengar dari sebuah kelompok di Estonia yang telah menemukan varian gen yang sama saat memeriksa data dari Estonian Biobank. Repositori tersebut berisi data lebih dari 210.000 orang Estonia, termasuk 18.000 penderita penyakit Lyme.

Kedua kelompok memutuskan untuk berkolaborasi, memasukkan data tambahan ke dalam penelitian yang sekarang dipublikasikan di Nature Communications. Dalam kedua kumpulan data tersebut, orang dengan versi mutan SCGB1D2 lebih mungkin didiagnosis menderita penyakit Lyme.

Para peneliti kemudian melakukan percobaan di laboratorium di mana mereka mengekspos Borrelia burgdorferi, bakteri di balik penyakit Lyme, dengan protein keringat versi mutan dan standar. Versi standar menekan pertumbuhan bakteri, tetapi versi mutan diperlukan dua kali lebih banyak untuk mencegah pertumbuhan bakteri.

Mereka juga menyuntikkan versi standar sekretoglobin dan sekretoglobin berbeda yang biasanya ditemukan di paru-paru ke tikus dan membuat hewan pengerat tersebut terkena bakteri. Tikus yang disuntik dengan secretoglobin paru-paru mengembangkan penyakit Lyme, namun tikus yang diberi versi standar SCGB1D2 tidak mengalami penyakit tersebut, bahkan setelah satu bulan para peneliti mengamati mereka untuk mencari tanda-tanda infeksi.

Penemuan gen ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan pemahaman para ilmuwan tentang penyakit Lyme, kata Janis Weis, seorang profesor di Departemen Patologi di Universitas Utah di Salt Lake City, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Secara umum, banyak sekretoglobin yang melapisi paru-paru dan organ lain serta berperan dalam respon imun tubuh.

Mengungkap peran SCGB1D2 pada penyakit Lyme mungkin membantu para peneliti mendapatkan wawasan tentang kondisi tersebut, menjawab pertanyaan mengapa sekitar 5% hingga 10% dari mereka yang terinfeksi tidak merespons pengobatan dengan baik dan dapat mengembangkan masalah kesehatan jangka panjang.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut